Cara Saya Menolak Penawaran Produk via Telepon

Sejak terdaftar sebagai pengguna kartu kredit pada salah satu bank, saya mulai sering menerima penawaran produk-produk lain via telepon. Sebagaimana yang sama kita ketahui bahwa informasi yang kita berikan saat aplikasi telah menyebar tanpa izin diantara para marketer. Telepon-telepon yang datang dari nomor berkode wilayah Jakarta itu biasanya saya angkat karena sering mengira itu dari keluarga atau relasi. Ternyata adalah suara pria muda
yang terdengar gagah, sopan dan hangat yang bermaksud menawarkan sebuah produk asuransi.

Saya pernah bekerja sebagai telemarketer sebelumnya. Jadi dapat merasakan situasi si penelpon ini. Bahwa kita akan sangat girang dengan sedikit respon positif dari calon konsumen. Saya dengarkan ia menjelaskan produknya beberapa saat, sambil bertanya beberapa hal sekedar menguji pemahamannya tentang produk yang ia tawarkan. Selanjutnya saya katakan terus terang jika saya tidak bisa menerima penawarannya karena beberapa alasan. Sebagaimana kita ketahui pasti mereka tidak akan menyerah. Terus saja berusaha membuat kita”mengerti”. Saya yang dari awal memang hanya bermaksud “menyenangkan” mereka pada akhirnya kelabakan juga. Geli juga dalam hati. Maka cara mudah yang tidak menyakiti yang saya lakukan adalah dengan minta mereka agar menelpon lagi sesudah jam kerja. Dan tentu saat nomor itu masuk lagi kita sudah punya pilihan jelas untuk kembali mengangkat atau tidak.

Sejak itu saya melakukan ini pada yang lainnya. Saya angkat saja. Mendengarkan ia memperkenalkan diri. Menjawab ramah, jika perlu bertanya ulang namanya. Selanjutnya dengan alasan sedang mengerjakan sesuatu, dengan sopan saya minta ia menelpon kembali sekitar pukul setengah lima sore. Biasanya mereka akan menyerah tidak memaksa. Menutup dengan memberi tahu website mereka yang bisa kita kunjungi. Saya akan mencatat informasi mereka. Dan sorenya ada yang menelpon kembali ada juga yang tidak pernah berusaha menghubungi lagi.

Cara ini efektif mengurangi kesewotan dengan tidak menyakiti mereka. Karena saya merasa sekali bahwa menelpon orang yang tidak dikenal untuk menawarkan dagangan itu sama tidak enaknya dengan menjawab penawaran yang tidak kita harapkan. Biasanya para marketer ini adalah sarjana-sarjana baru lulus yang masih belajar bekerja. Saya ingat ketika dulu saya memilih mencoba jadi telemarketer sebuah produk valas adalah untuk membangun relasi. Meski hanya 3 bulanan banyak juga yang bisa dipelajari. Kadang kita diterima dengan baik tapi lebih sering langsung dijawab dengan kalimat “aduh mbak, maaf saya tidak tertarik”. Rasanya sedih juga terlebih jika sudah 10 orang jawabannya begitu semua. Belum lagi kena marah pula sama supervisor karena tidak ada yang closing. Terfikir juga masak sarjana mengerjakan pekerjaan begini. Tapi karena belum ada kesempatan lain maka perasaan itu ditelan saja pelan-pelan.

Dengan kondisi perekonomian seperti sekarang ini di kota-kota besar macam Jakarta pekerjaan telemarketing menjadi utama. Entah itu berbagai jenis asuransi, reksadana dan lain sebagainya. Sebagian yang sudah mengalami atau mendengar pengalaman buruk mungkin akan memperlakukan para telemarketer dengan ketus dan judes hehe… wajar sih, tapi sebisa mungkin tetap cool dan calm aja yah Bapak-Ibu. Kasihan, telemarketer kan juga manusia, hehehee…

Dolok Merangir, 14 November 2011

1 komentar :

  1. Tapi lalu atas izin siapa para telemarketer menjual barang dagangannya ke nomor hp yang dituju? Hampir 100% orang yang ditelepon pasti tak pernah kasih nomor hpnya untuk ditelepon oleh sembarang orang, apalagi untuk dijadikan medium jualan. Tidak ada orang yang ingin diganggu oleh tamu tak diundang. Beda halnya kalau yang menelepon adalah telemarketer dari perusahaan/bank di mana kita memang menjadi pelanggan/nasabahnya, perlakuan kepada mereka akan lebih "beradab". Imho.

    BalasHapus