Sisa hujan deras dan angin yang turun sejak pagi membuat langkah kakiku makin berat. Ya Allah, aku lapar sekali , biarkan aku sampai ke tempat sampah itu, sedikit lagi, aku seret kakiku. Sedikit lagi ya Allah kuatkan aku…ahh, langkahku terhenti di kiri ku ternyata sebuah motor sudah berdiri. Aku hanya mampu melihat samar, aku hampir pingsan, aku berteriak sebisaku.Takut sekali, terbayang badan kurusku dilindas oleh roda besarnya. Untunglah dia melihat aku. Allah masih sayang padaku.
Aku menatapnya, ia tertawa ramah menatapku yang menyeret langkah menuju tempat yang akan menyelamatkan hidupku. Ah, aku suka tawanya. Sambil berjalan aku terus menatap, entah berteriak sambil menangis, tidak jelas lagi suara yang keluar dari mulutku. Andai dia berbaik hati membawaku. Ya Allah kasihanilah aku, rasanya tak sanggup lagi. Tapi suara kecilku tidak berarti baginya. Meski masih tersenyum ia terus berlalu. Belum rizkiku, biarlah.
Aku baru akan memanjat tempat sampah ketika tiba-tiba suara itu terdengar, suara motor itu lagi. Aku berbalik, ah benar itu dia. Aku tidak sempat berkedip karena dia sudah mengangkat tubuhku, meletakkan ku di antara kakinya, lalu pelan-pelan menjalankan motornya. Aku masih setengah sadar. Mau dibawa kemana aku, aduuh..aku takut jatuh. Dia sepertinya tau aku ketakutan, beberapa kali kami berhenti , ia menggeserku ke tengah. Tapi aku takut terinjak oleh kakinya, maka aku bergeser lagi ke sudut , dibawahku terlihat roda besar itu berputar, hiii aku takutttt….
Dia berhenti lagi, aduh mau apa dia sebenarnya. Aku diangkatnya lagi, diletakkan lagi dekat kakinya, aku takuutt, aku lompat saja, mau apa dia, jangan-jangan aku mau ditaruh di tempat yang lebih mengerikan. Jangan lagi, aku sudah dipisahkan dari ibuku, berhari-hari berjalan sendiri. Aku lompat, aaaaa…aku jatuh. Untung motornya tidak kencang, aku terduduk di aspal . Dia berhenti lalu mengangkatku dengan tangannya yang terasa hangat, “sedikit lagi” katanya.
Akhirnya aku diam saja, pasrah. Tidak lama kami berhenti. Ia mengangkatku lagi, menatapku “ah, kamu buta ya” , katanya saat melihat mataku. Aku berteriak menjawab sebisaku. Dia membuka pintu dengan kunci yang diambil dari tas coklat dibahunya. Aku terus berteriak, entah menangis atau ngeri, tidak tau. Aku diturunkannya. Aku masih mencoba memulihkan diri, pusing juga karena perjalanan tadi.
Aku berdiri gemetar diantara deretan sepatu dan pot bunga. Dia meninggalkanku entah kemana. Ya Allah lindungi aku, gemetar kakiku karena takut juga lapar yang tak tertahankan. Tiba-tiba dia muncul lagi, meletakkan sesuatu di depanku. Aku mengendus sebisaku, ah apakah ini makanan?, iya..iya aku kenal baunya. Aku lapar sekali maka tanpa ragu aku mendekat. Benar, aku langsung menurunkan sebongkah nasi itu ke lantai. Aku tidak peduli setelah ini akan bagaimana, yang penting aku isi perutku dulu. Aku memang begitu lapar hingga baru sadar kalau ternyata dia memperhatikanku sejak tadi. Aku jadi malu, menghentikan makanku sebentar.
Dia lalu pergi lagi. Aku menarik tulang leher ayam yang ada diantara nasi, uhh..agak keras. Aku cuma bisa menghisap saja, menikmati rasanya yang sedap. Alhamdulillah Ya Allah, mimpi apa aku. Padahal beberapa saat lalu aku kedinginan dan kelaparan di luar sana. Aku hampir menangis, tapi dia datang lagi. Apa itu ditangannya? Dia meletakkan di depanku. Aku mendekat, ya Allah itu susu. Aku begitu senang hingga rasanya ingin mencebur ke dalam piring kecil itu. Tapi aku urungkan, aku menyesap dari pinggirnya saja. Hangat dan manis. Nikmat sekali ya Allah, aku menyesap sepuasku. Dia masih di situ, berjongkok menatapku, kepalaku diusapnya berkali-kali.
Aku ingin menangis, dia lalu mengangkatku, membantu agar aku lebih mudah meminum susu yang dibuatkannya itu. Aku terharu sekali, aku jadi merasa kenyang. Melihatku menolak terus susu yang disodorkannya, ia menyerah, aku diturunkannya, dia lalu menghilang. Aku letih dan mengantuk, aku berjalan pelan ke bawah kursi. Aku tidak tau apa-apa lagi sesudah itu hingga terdengar suara pintu terbuka. Entah berapa lama aku tertidur. Aku tersentak, dia memanggilku sama seperti waktu pertama kali menawariku makan, aku mulai mengenali.
Aku keluar dari persembunyian, ragu-ragu mendekat pada tanganya yang terbuka hendak meraihku. Ia tau aku ragu, maka kembali ia memaksa mengangkatku, mengusap kepalaku seperti tadi. Duhh, aku mulai terbiasa dengan ini, nyaman sekali rasanya. “ah, kamu tidak buta ya” teriaknya waktu mengangkat kepalaku. Rupanya tadi dia tidak dengar kalau aku berteriak bilang bahwa aku tidak buta , aku cuma sakit mata. Mungkin karena sempat menangis tahi mata yang menempel menutup mata kiriku sudah terlepas.
Tapi dia masih belum yakin mungkin, aku dibawanya ke sebuah wastafel. Disekanya mataku dengan tissue basah yang diberi sabun. Berulang-ulang. Hihi..tahi mataku ada yang mengeras di pinggir mataku ia ingin membersihkannya. Aku malu sekali, joroknya aku, tapi namanya anak jalanan, perut saja terabaikan. Pantatku juga ia bersihkan, memang pesing, aku pasrah saja membiarkan dia sesukanya. Saat pegangannya sedikit rengang aku memanjat ke dadanya, ingin melihatnya, sekarang sudah lebih jelas. Aku akan mengingat kacamatanya.
Cerita kucing kecil yang kutemukan kemarin. Aku berbalik padanya, terbayang kesedihannya, seorang diri berjalan diantara gerimis. Teringat sebuah kalung manis yang akan menghias lehernya nanti. Aku membelinya beberapa bulan lalu di sebuah supermarket 100 yen di Harajuku Tokyo. Tadinya akan jadi oleh-oleh, tapi entah kenapa tidak pernah jadi kuberikan. Rupanya menunggu ia yang tepat. Belum pas dilehernya sekarang, beberapa bulan lagi pasti. Ah, bahkan aku belum memberinya nama.
Dolok Merangir, 25 Juli 2012
Tidak ada komentar :
Posting Komentar