BB Before After



Kurang lebih enam bulan saya menggunakan BB alias Blackberry, henpon pintar buatan kanada yang rilis pertama kali tahun 1999 ini sebagai akibat dari provokasi seorang teman dekat. Ia merasa lebih senang kalau  komunikasi kami menggunakan BB, lebih murah katanya. Maka saya yang sebelumnya biasa-biasa saja tanpa BB jadi merasa sedikit membutuhkannya.

Kemudian saya belilah henpon tersebut dengan seri yang harganya sesuai kemampuan saku juga bayangan batas kebutuhan saya. Saya memang sudah punya henpon android yang dipakai belum sampai satu tahun, bisa internetan juga asal pulsa lancar hehe…

Karena saat awal beli masih dapat promo dari provider kartu hingga tiga bulan pemakaian,  maka punya BB rasanya asik saja.  Walaupun hingga 2 bulan pertama saya cuma punya kontak pin BBM kurang dari 5. Bukan karena ga punya teman tapi rasanya ya dak terlalu perlu ngumpulin pin semua orang kan sudah ada no telepon.  Lalu ber- BB mulai terasa  menyenangkan, bisa online setiap saat, kirim gambar, terima gambar, segala lucu-lucuan plus informasi yang kadang bikin bingung pun mulai jadi keseharian saya.

Biasanya nyapa sahabat pakai sms paling sekali seminggu sekarang jadi tiap jam. Kalau dia ganti foto profil pasti pengen komentar. Sebaliknya saya juga jadi rajin jeprat-jepret narsis, curhat galau di status, ngelaporin masakan hangus dan hal-hal ga terlalu penting lainnya. Sesekali memforward hal menarik yang rasanya bermanfaat dibagi. Sesekali juga bikin kacau lapak grup dengan memancing debat untuk postingan forward yang ketinggalan info atau rada hoax.

Seiring dengan keasikan dan berakhirnya promosi provider saya mulai harus sering mencet pin atm untuk mengisi pulsa. Bencananya adalah saya termasuk yang tidak terlalu ikhlas membayar di muka senilai 100ribu  untuk bisa lancar jaya ber BB. Saya lebih suka dan aktif bertelepon. Maka paket harian yang 5000 rupiah itu mulai jadi bumerang. Karena sistem yang otomatis memperpanjang layanan tiap hari dan saya bukan orang yang rajin un-reg maka jatoh-jatohnya sebulan habis juga 200rb. Doh.. piyung.

Setelah promo kartu B habis saya putuskan menggunakan kartu A, kartu saya yang biasa. Jadilah satu henpon menganggur karena saya memang tipe setia, tidak bisa pasang dua heheh… Mubazir ga jelas, begitulah henpon android yang saya beli dengan harga yang lebih mahal dari si BB. Waktu saya sempat bawa-bawa dua ha-pe saya sampai disindir sama seorang relasi, profesor sepuh, orang Jepang. Katanya “eh kamu itu ha-pe sampe dua buat apa sih?”. Saya cuma bisa nyengir.

Akhirnya henpon mati saya tinggal di rumah. Lalu mudik lebaran kemarin akhirnya membantu saya untuk memutuskan berhenti dari Blackberry. Selama di kampung sinyal henpon sama sekali tidak ada. Hampir dua minggu putus komunikasi dengan dunia luar (maya). Tapi anehnya ya biasa-biasa saja. Sahabat yang biasanya disapa tiap hari juga ga merasa kangen-kangen amat. Informasi yang beredar masih seputar yang sebelumnya juga. Tidak sampai ketinggalan beritalah pokoknya. Maka waktu ponakan saya minta dihibahi itu BB, dengan sukarela saya berikan, yah sebagai hadiah karena dia mau mulai kuliah pasca sarjananya.

Tepat 6 bulan saja Blackberry itu ditangan saya, pas lunas cicilan kartu kreditnya hahahah..
Saya balik ke henpon sebelumnya. Mungkin karena sudah sempat “puasa” waktu di kampung jadi ya perceraian dengan BB jadi tidak terlalu menyakitkanlah. Saya baik-baik saja tanpa BB. Masih tetap bisa jaga silaturahmi dengan sahabat dan keluarga. Malah jadi lebih punya banyak waktu baca buku (biasanya baru mulai baca udah terusik baca yang online), tidur juga lebih tenang karena biasanya pas kebangun tengah  malam bukannya tidur lagi tapi malah melek baca timeline. Akses internet kantor yang free selama 8 jam sudah lebih dari cukup sebenarnya buat saya, tapi kalau punya uang lagi yah ga pa-pa juga kayaknya beli BB lagi, hihiiiiii….

Terinspirasi oleh status fesbuknya mbak Edi Kusumawati pagi ini.

Dolok Merangir, 21 September 2012

Tidak ada komentar :

Posting Komentar