Jodoh di Balik telepon Uni 2

Kencan pertama ternyata memang bikin grogi. Sejak selesai sholat tadi ia sudah bingung. Seluruh isi travel bag kecilnya sudah dikeluarkan tapi masih tak tahu akan memakai baju yang mana. Sudah mencoba baju yang feminin, ah formal sekali, terlalu keren, iya kalau si Bono itu sama kerennya :):).

Semua makin menegangkan karena tadi ia sudah bertemu dengan mbak Mia. Ulah Ibu yang bergerak cepat menelponnya, memberitahu kalau Jessi sudah di kota ini. Belum sempat ia mengeringkan badan karena kehujanan tadi ( ia naik Damri dari bandara, uni sudah tidak punya mobil, dijual untuk membangun rumah), tiba-tiba Uni muncul ke di kamar, berbisik ada mbak Mia diluar.

Ia yang sudah terlanjur melepas jilbab santai saja keluar, sementara Uni repot memintanya memakai jilbab lagi. Biar saja mbak Mia melihat aslinya aku, begitu pikirnya. Tapi ternyata ia keduluan, mbak Mia sudah di depan kamar. Mbak Mia memang sudah tidak asing dengan rumah uni. Ia menyalaminya. Kelihatan antusias sekali. Mereka bicara seperti sudah kenal baik.

Lalu ia yang memang seorang yang spontan dan tak sabar bertanya hal yang selama ini membuatnya penasaran. Katanya” kok mbak Mia bisa tertarik pada saya.. kan kita baru sekali ketemu”. Agak kaget Mbak Mia menjawab “Aduh, mbak gak tau dek, rasanya waktu melihat kamu langsung saja ada perasaan bahwa kamu cocok dengan Bono”. Ia tersenyum “ya, mudah-mudahan ya mbak, kalau ini sesuatu yang baik untuk kami semoga dimudahkan-Nya.” Sungguh itu kalimat yang paling tepat menurutnya karena walaupun semua saat ini terlihat berjalan lancar tetap saja ia belum kenal dengan Bono.

Bono datang. Sempat menelponnya saat sudah berada 20 meter di depan rumah Uni. Ia tepat sampai di pintu waktu Bono keluar dari mobil. Dan ia lega, Bono ternyata tidak semuda di foto.
Mereka bersalaman. Sama-sama mencoba menghilangkan kikuk. Ia sempat memperhatikan kaos kerah 3 warna yang dikenakan Bono. Oh, no!

Ia mempersilakan Bono masuk. Bono berkenalan dengan Uni yang menyusul keluar. Seperti janji mereka ditelepon maka acara ramah tamah itu hanya sebentar. Mereka melanjutkan sendiri, menikmati jumpa pertama itu dengan menyusuri kota Padang. Ia belum makan sejak siang maka tanpa ragu menawarkan alternatif wisata kuliner dadakan. ” Soto Padang yang di belakang olo masih buka gak ya jam segini” katanya. “Wah, di sini cuma ada soto, ga ada soto Padang” Bono berusaha bercanda. Hm, "biasa", bisiknya dalam hati, kebiasaannya menilai orang mulai muncul..  Bono sempat menawarkan ke gerai makanan Italia yang sepertinya sedang digandrungi anak muda Padang. Ia menolak sambil tertawa dan bilang bahwa ia termasuk manusia yang tidak bisa ketemu nasi sehari. Diantara gerimis malam itu mereka duduk di salah satu tempat makan di kawasan Pecinan, Pondok. Ramai.

Seorang pengamen cilik menghampiri dengan wajah sendu, meminta receh dari mereka buat makan malam. Jessi tidak memberi uang. Si pengamen memesan nasi goreng sendiri atas suruhannya. Bono terlihat terkesan akan kejadian itu.

Sejauh ini Bono sepertinya seorang pria berwibawa, meski kata mbak Mia ia sedikit pendiam tapi cukup ramah. Itulah kesan pertama Jessi melihat Bono. Beberapa kalimat basa basi meluncur dari mulut Bono. Masih terasa kaku. Tapi cukup sebagai tahap awal menyibak sedikit demi sedikit sekat di antara mereka. Ia ingat tadi mereka sama-sama membaca bismillah ketika akan masuk mobil. Ia terus berusaha mengenal Bono. Menanyakan ini itu,  soal keluarga, pekerjaan, kuliah. Bono juga.

Bono bercerita tentang kamp tempatnya bekerja untuk proyek pengaspalan jalan di beberapa kabupaten di sumatra barat. Ia mendengarkan sambil sesekali bertanya dan bibirnya membentuk huruf O atas sesuatu yang baru ia mengerti. Juga tentang cerita bahwa para insinyur sipil pekerja proyek yang kadang hanya pulang ke keluarga sekali setahun saja jika lokasi mereka jauh dan tidak mudah terjangkau. Jessi menyela cerita ini, bertanya, apa mereka tidak kesepian, apa lalu tidak mencari “orang lain”  untuk pemenuhan kebutuhan biologis mereka. Bono sedikit kaget dengan pertanyaan ini. Ia menjawab yakin bahwa semua rekan-rekannya itu pria baik-baik. Jessi hanya mencoba terlihat realistis dengan pertanyaan itu. Jawaban Bono normatif menurutnya.

Sepanjang perjalanan pulang mereka mengobrolkan hal-hal yang lebih serius. Bono sepertinya mengkhawatirkan kemapanan Jessi. Memang Ia telah bekerja lebih lama dari Bono. Bono berterus terang jika penghasilannya hanya cukup untuk biaya kuliah S2 nya.  Ia tidak ingin menampik kenyataan itu dengan pernyataan-pernyataan klise. Ia juga ingin tahu penerimaan Bono akan hal ini. Apakah Bono termasuk laki-laki yang siap sejajar dalam hal kemandirian. Meski ia bukanlah penganut feminisme. Namun ia terbiasa tidak bergantung pada siapapun atas hidupnya. Jika Bono tidak siap dengan ini maka sia-sia saja. Tapi Ia masih belum dapat menyimpulkan apa-apa.

Pertemuan pertama itu berakhir juga. Jessi mencoba berpikir ulang kembali, membawa memori yang beberapa saat lalu telah ia jalankan bersama Bono. Jessi mulai bertanya pada dirinya. Pantaskah pria itu untuknya. Sebagai seorang wanita karier, Jessi tidak menempatkan dirinya pada standar yang tinggi. Namun ia berhak untuk memberikan penilaian terbaik untuk dirinya. Hingga dia bisa memilih pasangan yang pas dan sesuai dengannya.

Dari percakapan malam itu banyak hal yang masih mengganjal di hati Jessi.  Selain soal penghasilan, Bono juga sepertinya tidak sedang buru-buru menemukan jodoh. Bono tidak seantusias Mbak Mia kakaknya. Katanya mereka baru saja kenal, butuh waktu lebih lama lagi. Ia sedikit bingung dengan pernyataan ini karena menurutnya referensi dari kakak masing-masing sudah cukup jadi jaminan. Ia bukan sedang mencari pacar. Tapi ia pendam sendiri kebingungan itu. Waktu Uni bertanya bagaimana kencan mereka. Ia hanya menjawab bercanda tentang kemeja 3 warna dan mata sayu Bono.

Ia mendapat ijin cuti beberapa hari. Semata-mata hanya untuk urusan Bono ini. Maka ia hanya di rumah saja. Melihat aktifitas ibu rumah tangga, Uni. Uni adalah ibu keduanya.Orang tua mereka masih lengkap. Tapi menurut cerita uni ia lengket dengan uni sejak masih bayi. Jarak mereka memang jauh. Mereka delapan bersaudara, Uni anak kedua, ia yang paling kecil.  Ia ikut keluarga Uni sejak kelas 1 SD. Uni  yang tidak kunjung punya anak setelah 2 tahun menikah memboyongnya ke banda aceh, tempat suaminya berdinas.

Uni lah yang membesarkannya hingga sampai lulus universitas. Waktu kerusuhan GAM marak di tahun 1995, abang iparnya yang polisi memutuskan untuk pindah, kembali ke tanah kelahiran mereka. Ia masih kelas 3 SMP waktu itu. Ibu mereka meninggal waktu ia baru mulai bekerja di perusahaan yang sekarang. Ibu sangat ingin ia menikah, namun ia tidak mampu memenuhinya hingga saat akhirnya.  Ia menyesal. Ia mungkin memang tidak terlalu berusaha. Ia bukanlah gadis yang lincah dalam pertemanan dengan lawan jenis. Maka meskipun sedikit tidak nyaman ia menganggap apa yang dilakukan Uni dan mbak Mia sangatlah membantunya. Setidaknya hubungan baik mereka mempermudah banyak hal.

Bono datang lagi menjemputnya sehabis kerja. Sore itu ia lebih rapi. Kelihatan lebih menarik. Semakin menarik, terlihat cerdas dan lebih bersemangat. Entah apa yang terjadi. Obrolan jadi lebih hangat. Mereka ke tempat makan yang kali ini Bono yang memilih. Sholat di mesjid nurul iman, mesjid terbesar kota itu.

Menyenangkan dan memberi harapan. Ketika Bono menjemput untuk mengantarkannya ke bandara di siang terakhir sebelum ia kembali ada perasaan sumringah dalam hatinya. Bono begitu santun dan menghargainya. Tapi yang lebih membuatnya salah tingkah adalah saat Bono bilang  pada kepulangan Jessi selanjutnya mereka akan menemui ayah Bono di kampungnya. “Memang sudah yakin sama aku?’ katanya bingung. “Yakin dong” Bono menjawab pasti. Lalu perpisahan di bandara itu seperti begitu menyedihkan buat Bono. Ia entah merasa apa.

Bersambung

Tidak ada komentar :

Posting Komentar