Jodoh di Balik Telepon Uni 1

Ia baru saja akan bergerak menuju meja kecil di sudut kamar, bermaksud menyalakan player. Habis makan malam adalah waktu leyeh-leyeh di kasur sambil mendengarkan lagu-lagu evergreen kegemarannya. Tapi suara Hedi Yunus dari hape mengusik  rencana. Telepon dari Uni.

Ia : “Assalammulaikum..”
Uni: “Wa alaikum salam…, lagi ngapain kamu dek?”
Ia: “Ga ada, abis makan, ada apa ni..?”
Uni: “Ga, ini..eh ingat ga sama teman uni, yang kemaren tempat kita beli baju?”
Ia: “Hmm, yang mana?(mengerutkan kening), ohhh…kenapa?
Uni: “Dia nanyain kamu ke si Ibu..”
Ia :”Nanyain?”
Uni: “iya, dia nanya itu yang sama Mamak siapa? gitu, si Ibu bilang kamu adek bungsunya Uni..”
Ia : “Trus..?” (mencoba menebak arah pembicaraan)
Uni: “Dia mau njodohin kamu sama adeknya”
Ia: “Hah? kok bisa?, aku kan ga kenal dia, ada-ada aja ah…”
Uni:”Denger dulu, adeknya itu kerja di perusahaan..apa ya, pokoknya sambil nerusin S2 gitu.., kamu mau ga kenalan, kayaknya kalau cocok dia mau cepet…”
Ia: “Cepet apa? apa-apaan sih, kenal juga belom, bisa-bisanya…”
Uni: “Ya uni juga ga tau, tanya si Ibu lah kalau gitu”
Ia:”Ihh, ini ibuk-ibuk bikin pusing aja sih, udah ah aku mau nonton tivi nih..”
Uni:”Ehhh,dipikirinlah, siapa tau ini jalannya, ga boleh gitu, mau ga kawin selama-lamanya, usaha dong..”
Ia:”Ya..ya…yaaa….”

Percakapan itu selesai. Orang-orang yang aneh pikirnya. Ia kemudian merebahkan diri ke kasur santai di ruang tengah. TV yang menyala dari tadi tak sedikitpun menarik perhatiannya.
Suara kakaknya ditelpon barusan kembali tergiang ditelinganya, “hmm, sepertinya Uni benar-benar menginginkan aku cepat menikah! Sampai harus mencarikan jodoh segala” pikirnya.
Namanya Jessi. Gadis manis yang sangat cerdas. Wanita pekerja keras, tak heran  kariernya lalu melejit dengan cepat di perusahaan asing di utara Sumatra sana.  Hingga ia patut berbangga hati dengan semua yang sudah dimilikinya.

Hidup sendiri dengan tumpukan pekerjaan setiap hari kadang membuatnya jenuh. Maka ia akan menghabiskan pulsanya untuk menghubungi teman-teman lama yang bisa mendengarkan curahan hatinya. Seharusnya ia punya seseorang yang istimewa sebagai tempat curhat selain teman-temannya. Tapi dia belum juga menemukan seorang yang tepat.

Ahh, bukan! Dulu pernah ia menemukan seseorang,  ia mengenal dekat lelaki itu. Mereka saling berbagi, saat itu penuh dengan romansa bahagia. Hubungn itu terpaksa harus diakhirinya, karena laki-laki itu milik wanita lain.

Ingin ia membenarkan sikapnya. Atas nama cinta, tetap mempertahankan lelaki itu ada di hatinya. Tapi nalurinya sebagai perempuan tidak bisa memaafkan jika itu terus dilakukannya. Akhirnya Jessi memilih mundur. Melepaskan ikatan hatinya pada pria yang sejujurnya sangat ia cinta.

Dan sekarang tawaran kakaknya mampu membuatnya agak ragu,  ”apa salahnya mencoba membuka hati kembali?”. Tapi kesibukannya pada pekerjaan juga kenyataan bahwa ia masih kebingungan dengan keseriusan sahabat sang Uni (hmm, wangsit darimana hingga begitu tiba-tiba) membuat ia kembali lupa. Hingga pada minggu berikutny Uni menelpon lagi:

Uni:” Dek, gimana?”
Ia: “Apanya?”( bingung)
Uni:”Ituu,..mbak Mia itu datang ke rumah lhoh tadi, nanyain ini-itu soal kamu”
Ia:”Mbak Mia siapa?”
Uni: “Ituuuu…teman uni yang mau jodohin kamu sama adeknyaa..?”
Ia:”Lhoh, bersambung toh yang kemaren?”
Uni:”Hush!, kamu ini, orang berniat baik, kok ditanggapi begitu, jadi gimana?”
Uni:”Gimana apanya, uni tanya ga sih kenapa bisa, ya maksud aku emang dia liat apa dari aku sampe-sampe bisa punya niat begitu, ketemu dia aja baru sekali, wangsit darimanaa… lagian uni apa udah liat adeknya itu, jangan-jangan ga ada kakinya lagi hii..”

Uni: Hush!, kebiasaan, kebanyakan komentar…pokoknya tadi uni udah kasih foto kamu sama dia”.
Ia: “Hah, yang manaa.., gimana sih uni, ga pake ijin dulu”
Uni:”Yang di hape Manda, yang lagi depan komputer”..
Ia: (Mengingat-ingat) ya ampuunn, aku di situ kan keliatan gendutt..”
Uni: “Foto adeknya tadi udah sama Manda, kamu tunggu aja nanti di SMS in”.
Ia: “Ya ampunn…ini serius yaa?”
Tak berapa lama foto itu pun sampai kehapenya. Ia membuka dengan was-was, sudah membayangkan beberapa rupa. Dan… ia mengucek-ngucek mata demi melihat seorang pria muda berbaju batik dengan gaya. Sigap ia menaksir pria itu jelas lebih muda darinya. Gegas ia menelpon balik ke Manda, anak gadis uninya, si pengirim MMS.

Ia: “Nda, mamakmu ga salah apa?, liat ga sih dia foto ini”?
Manda:”Hii..hi aku ga ikutaann…”
Ia:”Dia cocoknya sama kamuu…, ada-ada aja sih ini (sewot)..”
Manda: “Marah-marah aja sama orangnya, tapi nanti, sekarang lagi ke pasar”.
Ia: “Ahhhh..”
Jessi menutup telponnya. Memandang sekali lagi pria imut di hape itu. “Gila kali gue dikira mau sama brondong” sungutnya.

Jessi tak berani mengambil keputusan. Ini gawat, tidak mungkin! Ia tak mau nantinya bertepuk sebelah tangan. Bagaimanapun ia memang ingin menikah, memiliki pasangan. Jika tak bisa mencari seseorang yang lebih dewasa darinya. Setidaknya seusia dengan jarak yang tidak terlalu mencolok.
Sekali lagi, ia tatap foto itu seksama. Wajahnya cool, sangat menarik. Sebagai wanita normal hatinya terusik. Ingin mengenal pria itu lebih jauh. Tapi ia harus hati-hati. Tidak boleh menaruh harapan lebih. Harus tahu dan yakin dulu apa laki-laki itu sungguh-sungguh menginginkannya.

Lalu ada berbelas-belas telepon dari uni setelah itu, berusaha menyakinkannya. Bahwa pria muda bernama Bono itu tidaklah terlalu muda. Hanya berselisih 2 tahun katanya. Bukan hal yang tak lazim di zaman sekarang. Ibu ( Uni, Ibu dan mbak Mia berkawan akrab, Ibu dalam hal ini mengambil posisi sebagai perantara, tepatnya comblang) sampai mencontohkan pasangan artis yang mesra-mesra saja meski si pria lebih muda 15 tahun. Bahwa mbak Mia sangat antusias hingga uni jadi merasa tidak enak kalau tidak menanggapi sama.

Juga segala bumbu seputar Bono. Kata mereka Bono itu seorang pria bertanggung jawab yang penurut, tidak banyak bicara, tidak pandai berpacaran. Semua yang baik-baik, kecuali bahwa Bono bekerja di perusahaan kontraktor yang punya proyek berpindah-pindah. Hal yang akan membuat jarak yang sementara sudah jauh akan makin jauh. Tapi semua ketidakmungkinan itu selalu dipatahkan dengan berbagai alasan. Semua jadi terlihat mungkin. Ah, kenapa sih harus cuti ke Padang segala Februari itu.

Dan sore di hari itu ia telah mendarat lagi di Minangkabau international airport, disambut oleh hujan. Magribh nanti Bono akan datang ke rumah, rumah Uni. Uni tidak tahu soal rencana kedatangan itu. Itu rencana mereka berdua, ia dan Bono. Ia tertawa geli membayangkan reaksi Uni tentang ini. Uni memintanya pulang, tapi sampai telepon terakhir ia masih tidak tahu akan bagaimana mempertemukannya dengan Bono. Gadis tahun 70 an ya begitulah. Nanti sajalah memikirkan bagaimana menjelaskan pada Uni. Ia asik memikirkan apa yang akan diobrolkan pada “dating”  malam nanti. Pertama kali seumur hidup ia menjalani ini. Sungguh semua karena Uni dan sedikit harapan bahwa mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan atas doa yang terpanjat setiap saat dalam kalbunya.

Dan sejauh ini semua terlihat berjalan begitu mudah. Hingga magribh itu…

Tidak ada komentar :

Posting Komentar