Rencananya Mau Nonton Dua Film Minggu Ini

Tiket kereta api Pematang Siantar-Medan tertanggal 24 Agustus sudah dikirim traveloka ke gmail. Harga tiket Siantar Ekpress ekonomi hanya 28 ribuan, murah dibandingkan bus apalagi travel antar kota. Ini kali kedua akan menggunakan kereta api dengan niat yang sama. Dua bulan lalu dengan Alik dan Alen kami nonton Anabelle di Imax mall nya Chairul Tanjung.

Ternyata naik kereta api nyaman juga. Paling penting ga harus menunggu tanpa kepastian kayak bus-kadang 2 jam ga ada yang datang. Walau sekarang bus sudah bisa lebih cepat dengan lewat jalan tol tapi saya mau mencoba menikmati duduk manis disamping jendela sambal melihat keluar kota-kota kecil di sepanjang rel . Hampir  3.5 jam perjalanan dari stasiun Dolok Merangir ke stasiun kota Medan. Kalau dulu katanya banyak penjaja makanan di setiap pemberhentian, tapi tidak saya temukan pada pengalaman pertama kemarin itu. Bisa jadi karena pejalanan masih pagi sekali, belum ada makanan yang cocok. Tapi sempat ketemu tukang nasi gurih waktu akan masuk stasiun Dolok Merangir, itu saja.

 Mau nonton film apa kali ini? Ada dua film seharusnya yang amat menjanjikan utuk didatangi jauh-jauh dari kebun; Bumi Manusia dan Gundala. Dua-duanya film buatan Indonesia. Hanung Bramantyo dan Joko Anwar punya. Bumi Manusia sudah saya baca bukunya 8 tahunan yang lalu. Kalau Gundala Sang Putra Petir baru tau, waktu Joko Anwar mencari lokasi syutingnya via cuitan di Twitter setahunan yang lalu(?). Saya suka film Hanung yang Perempuan Berkalung Sorban-debut Reza Rahadian yang kalau sekarang ini mungkin sudah eneg liat script hahahah. Kalau Joko Anwar  baru nonton film lamanya Janji Joni- via internet streaming :)) -Film Nicholas Saputra setelah Ada Apa Dengan Cinta. Gak nonton Pengabdi Setan yang maha booming itu, karena udah nonton yang versi jadulnya-walau beda- males nonton horor sering-sering.

Sebenarnya sehabis upacara 17 an kantor sudah mau langsung cabut ke bioskop demi Bumi Manusia, mumpung nuansanya kebangsaan. Kebaya-kebayaan yang dipakai pagi itu mau tetap dipakai selama nonton, rencananya begitu.  Lalu setelah duduk sebentar melihat televisi yang menayangkan upacara di istana pikiran berkompromi. Tunda saja minggu depan sekalian Gundala, tapi ternyata Gundala tayang akhir bulan. Rasanya akan menyesal jika melewatkan akting dedek Iqbal "Dilan"- Ah bukan saya uma mau merasakan kecewa, kecewa buku yang sedemikian bagus membekas di kepala lalu porak poranda karena adabtasi yang ga sempurna  seperti halnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Review beberapa orang tokoh tampaknya akan mematahkan perkiraan saya, ya semoga saja. Mari bangun pagi karena kereta api hanya datang sekali.







Dolok Merangir, 23 Agustus 2019

LAGI DEMEN SAMA LAGU RAN:DEKAT DI HATI

Ahahaha, iyaa..ini lagu bagus banget, baru tau! Ok lah kita denger sama-sama ngelink dari sini. Lihat official websitenya RAN sini, kerenlah. SIP okeh!



Pengen tau soal RAN yang Akira Kurosawa, setelah ini. Ciaoo..


Happy, happy wedding....


Tahun ini dua keponakan perempuan saya mengakhiri masa gadis dengan pesta pernikahan yang alhamdulillah cukup meriah. Satu berlangsung di Jakarta, satunya di kampung kelahiran kami, Katiagan, sebuah nagari kecil di sisi Sungai Batang Masang Kabupaten Pasaman Barat. Saya hadiri keduanya meski berjarak tak lebih dari satu bulan, Dhira di bulan Maret dan Wiwik pada akhir bulan April. Pernikahan adalah satu kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga besar. Merayakan kebahagiaan anggota keluarga yang akan memasuki kehidupan yang baru.

Dua ponakan perempuan saya bertemu jodoh di tahun yang sama, awalnya memusingkan buat saya yang tinggal jauh dari kedua tempat pesta, mengingat anggaran lebih yang mesti mengucur untuk tiket pesawat dan belanja hehe..

Padahal rasanya baru kemarin sayalah yang jadi"anak daro", ijab kabul kami dua tahunan yang lalu di Mesjid Sunda Kelapa Jakarta, lalu "baralek" tiga minggu kemudian di kampung halaman. Ramai, menurut cerita abang dan kakak-kakak perempuan saya, acara pesta perkawinan kami adalah yang paling meriah di kampung  selama ini.

Saya tidak terlalu ngeh, karena memang sudah lama jauh di rantau. Pun saat jadi pengantin tidak sempat memperhatikan. Sudah amat senang bertemu dengan sanak keluarga yang bahkan tidak mengenali saya, "bako" almarhum ibu yang datang dari Pariaman, dua ibu sepuh datang bertongkat menyalami saya yang tengah bersunting. Terharu, saya teringat pada ibu saat itu.

                                          Happy wedding Dhira Avrilla SE &Teguh Bintarno SE

                                          Kerbau Wiwik kehujanan, dipotong tengah malam..
                                         
                                         Seru main Kim, biarpun hujan...


                                         Barakallah, Winda Wahyuni SP &Hasan Junaedi Lc

                                          Yang ini pengantin lama, hahaha..

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan menunjuki kami semua pada jalan yang benar, sakinah ma waddah wa rahmah, aamiin yarabbal alamin.

15 Mei 2015

Bertemu Pemeran Utama Film Jagal “The Act of Killing”

Siapa yang tidak kaget dan heboh bertemu dengan salah satu tokoh penting dalam film dokumenter “Jagal” alias The Act of Killing, film besutan sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer yang nyaris menyabet Oscar 2013, piala bergengsi perfilman dunia. Terbaru film ini malah mengalahkan 12 Years a Slave pemenang Oscar sebagai Best Film dalam penghargaan dari media terkemuka Inggris dalam  Guardian Film Awards pada 6 Maret lalu.


Dialah Herman Koto, preman berbadan gempal gondrong yang selalu mengiringi Anwar Congo sang tokoh utama, yang adalah salah seorang  eksekutor dalam masa “pembersihan” terduga anggota Partai Komunis Indonesia di Sumatera Utara kurun waktu 1965-1966. Pertemuan yang tidak direncanakan saat kami hendak menunaikan sholat maghrib pada sebuah mushola di seputaran kawasan kuliner kota Medan tadi malam (3/10).  Ia sudah selesai dan kami baru hendak wudhu, ketika suami saya tersadar dengan siapa kami berpapasan. Sama senangnya dengan kami, Bang Herman, begitu ternyata ia biasa dipanggil, berfoto dan menjawab dua orang yang berebutan bertanya bak wartawan, hingga 2 jam an sembari makan.

Saya teringat adegan kocak saat ia gagal menjadi caleg salah satu partai, rebah di kamar sambil menatap langit-langit ditemani Febi putri kecilnya,  tak berbaju, curhat sembari menasehati sang anak. Saya terpingkal tertawa juga terharu dengan dialog mereka. Ada adegan konyol pagi hari saat di kamar mandi, atau ketika ia berlakon aneka peran dan mau didandani apa saja, hingga jadilah film dalam film tersebut. Ternyata sekarang Febi sudah berumur 14 tahun, sudah kelas 3 SMP.  Bang Herman berbinar-binar menceritakan tentang anak gadisnya yang tumbuh cantik dan aktif di remaja mesjid  tempat tinggal mereka. Ia memperlihatkan foto dan sms pesanan nasi goreng dari Febi, 4 buah cincin batu berukuran besar di jarinya jadi tidak bermakna hahaha…

Kami tanyakan tentang aktifitasnya sekarang, apakah kesuksesan film yang dibintanginya membawa imbas pada kesehariannya. Katanya ia “pengangguran besar” , tidak punya pekerjaan, “tapi penghasilannya besar kan bang?”, kata saya menggoda. Apa adanya ia bilang sesungguhnya berharap dikenalnya ia oleh banyak orang akan memberi kemudahan dalam mencari pekerjaan, sayangnya hingga saat ini harapannya belum terwujud. Perlu diketahui bahwa bang Herman adalah mantan PNS di salah satu dinas pemerintahan kota Medan. Ia berhenti karena  mimpi indah jadi Caleg (persis seperti yang kita lihat di filmnya), kini ia tidak bisa menikmati pensiun di usia yang sudah 55 tahun. Andai ia boleh meminta pengakuan atas statusnya dulu, sebagai pensiunan, begitu harap lelaki yang aslinya ternyata amat tenang ini.




Pun ia pernah jadi ketua beberapa ranting organisasi Pemuda Pancasila, cukup punya pengaruh dan pengalaman rasanya. Saya bilang kenapa tidak mencalonkan diri lagi sekarang ini saat sudah terkenal,”ga ada uang Abang, Dek” begitu jawabnya, dulu Joshua yang bantu dana katanya. Meski Begitu ia mengaku sudah merasa cukup bahagia karena dikelilingi banyak kawan dari segala lapisan di penjuru sumatra utara. Saya tanya apakah ia senang filmnya terkenal dan dapat penghargaan di mana-mana, atau kah sebaliknya, sebagaimana berita yang menyatakan mereka merasa ditipu oleh sang sutradara. Meski tidak tahu persis penghargaan apa saja yang diraih,  ia senang dan bangga Indonesia di kenal dunia karena orang biasa seperti mereka.


Tentang perasaan ditipu sebab awalnya Joshua bilang film ini  untuk kepentingan sekolah S3 nya, dan judulnya adalah Arsan dan Amina. Bang Herman  seolah adalah asisten sutradara, ia mengumpulkan para figuran sekaligus “mengaudisi” mereka. Dialog, adegan dan tentu kostum kebanyakan adalah reka-rekanya. Dan rasanya ia tidak salah, silakan tonton lagi filmnya. Ia dibayar tak tentu, kadang 200 ribu, pernah 500 ribu katanya.

Meski film ini di nilai beberapa pihak kontroversial tapi ia belum pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan dari manapun. Ia tetap meyakini bahwa apapun yang terjadi pada masa lalu adalah layaknya terjadi,  ia tidak takut jika harus bertanggungjawab pada semua dialog dan peran yang ia lakukan. Pernah ia kebingungan bagaimana wartawan TV Australia tahu nomor telpon dan langsung sampai ke rumah untuk mewawancarainya. Setelahnya tidak ada lagi media yang datang.   Sementara pak Anwar Congo menurut ceritanya  sedikit merasa tertekan maka memilih menghindar dari para wartawan. Hingga sekarang kedua teman karib itu masih selalu kumpul di tempat kami bertemu ini.  Melihat tampilan dan tuturnya Bang Herman jauh dari kesan preman kota Medan. Begitu mengayom juga rendah hati. Baru kenal saja kami sudah merasa seperti saudara.



Ia memperlihatkan foto-foto dengan Joshua dari HP Nokianya. Ia dengar Joshua sudah terkenal dan sukses, sayang sudah lama tidak kontak, padahal sebelumnya mereka dekat sekali. Ia memberikan secarik kertas memo dari sebuah hotel di Medan, berisi alamat email dan skype yang ditulis tangan  Joshua Oppenheimer, jika kami menyurati ia menitipkan pesan agar Joshua menghubunginya lagi seperti dulu. Entah kenapa saya tidak bisa menyisipkan foto pertemuan kami tadi malam di tulisan ini. Saya kutip Wikipedia catatan Penghargaan dan Nominasi yang diraih The Act of Killing, saya yakin Bang Herman atau  Pak Anwar Congo tidak tahu benar soal ini