Bertemu Pemeran Utama Film Jagal “The Act of Killing”

Siapa yang tidak kaget dan heboh bertemu dengan salah satu tokoh penting dalam film dokumenter “Jagal” alias The Act of Killing, film besutan sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer yang nyaris menyabet Oscar 2013, piala bergengsi perfilman dunia. Terbaru film ini malah mengalahkan 12 Years a Slave pemenang Oscar sebagai Best Film dalam penghargaan dari media terkemuka Inggris dalam  Guardian Film Awards pada 6 Maret lalu.


Dialah Herman Koto, preman berbadan gempal gondrong yang selalu mengiringi Anwar Congo sang tokoh utama, yang adalah salah seorang  eksekutor dalam masa “pembersihan” terduga anggota Partai Komunis Indonesia di Sumatera Utara kurun waktu 1965-1966. Pertemuan yang tidak direncanakan saat kami hendak menunaikan sholat maghrib pada sebuah mushola di seputaran kawasan kuliner kota Medan tadi malam (3/10).  Ia sudah selesai dan kami baru hendak wudhu, ketika suami saya tersadar dengan siapa kami berpapasan. Sama senangnya dengan kami, Bang Herman, begitu ternyata ia biasa dipanggil, berfoto dan menjawab dua orang yang berebutan bertanya bak wartawan, hingga 2 jam an sembari makan.

Saya teringat adegan kocak saat ia gagal menjadi caleg salah satu partai, rebah di kamar sambil menatap langit-langit ditemani Febi putri kecilnya,  tak berbaju, curhat sembari menasehati sang anak. Saya terpingkal tertawa juga terharu dengan dialog mereka. Ada adegan konyol pagi hari saat di kamar mandi, atau ketika ia berlakon aneka peran dan mau didandani apa saja, hingga jadilah film dalam film tersebut. Ternyata sekarang Febi sudah berumur 14 tahun, sudah kelas 3 SMP.  Bang Herman berbinar-binar menceritakan tentang anak gadisnya yang tumbuh cantik dan aktif di remaja mesjid  tempat tinggal mereka. Ia memperlihatkan foto dan sms pesanan nasi goreng dari Febi, 4 buah cincin batu berukuran besar di jarinya jadi tidak bermakna hahaha…

Kami tanyakan tentang aktifitasnya sekarang, apakah kesuksesan film yang dibintanginya membawa imbas pada kesehariannya. Katanya ia “pengangguran besar” , tidak punya pekerjaan, “tapi penghasilannya besar kan bang?”, kata saya menggoda. Apa adanya ia bilang sesungguhnya berharap dikenalnya ia oleh banyak orang akan memberi kemudahan dalam mencari pekerjaan, sayangnya hingga saat ini harapannya belum terwujud. Perlu diketahui bahwa bang Herman adalah mantan PNS di salah satu dinas pemerintahan kota Medan. Ia berhenti karena  mimpi indah jadi Caleg (persis seperti yang kita lihat di filmnya), kini ia tidak bisa menikmati pensiun di usia yang sudah 55 tahun. Andai ia boleh meminta pengakuan atas statusnya dulu, sebagai pensiunan, begitu harap lelaki yang aslinya ternyata amat tenang ini.




Pun ia pernah jadi ketua beberapa ranting organisasi Pemuda Pancasila, cukup punya pengaruh dan pengalaman rasanya. Saya bilang kenapa tidak mencalonkan diri lagi sekarang ini saat sudah terkenal,”ga ada uang Abang, Dek” begitu jawabnya, dulu Joshua yang bantu dana katanya. Meski Begitu ia mengaku sudah merasa cukup bahagia karena dikelilingi banyak kawan dari segala lapisan di penjuru sumatra utara. Saya tanya apakah ia senang filmnya terkenal dan dapat penghargaan di mana-mana, atau kah sebaliknya, sebagaimana berita yang menyatakan mereka merasa ditipu oleh sang sutradara. Meski tidak tahu persis penghargaan apa saja yang diraih,  ia senang dan bangga Indonesia di kenal dunia karena orang biasa seperti mereka.


Tentang perasaan ditipu sebab awalnya Joshua bilang film ini  untuk kepentingan sekolah S3 nya, dan judulnya adalah Arsan dan Amina. Bang Herman  seolah adalah asisten sutradara, ia mengumpulkan para figuran sekaligus “mengaudisi” mereka. Dialog, adegan dan tentu kostum kebanyakan adalah reka-rekanya. Dan rasanya ia tidak salah, silakan tonton lagi filmnya. Ia dibayar tak tentu, kadang 200 ribu, pernah 500 ribu katanya.

Meski film ini di nilai beberapa pihak kontroversial tapi ia belum pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan dari manapun. Ia tetap meyakini bahwa apapun yang terjadi pada masa lalu adalah layaknya terjadi,  ia tidak takut jika harus bertanggungjawab pada semua dialog dan peran yang ia lakukan. Pernah ia kebingungan bagaimana wartawan TV Australia tahu nomor telpon dan langsung sampai ke rumah untuk mewawancarainya. Setelahnya tidak ada lagi media yang datang.   Sementara pak Anwar Congo menurut ceritanya  sedikit merasa tertekan maka memilih menghindar dari para wartawan. Hingga sekarang kedua teman karib itu masih selalu kumpul di tempat kami bertemu ini.  Melihat tampilan dan tuturnya Bang Herman jauh dari kesan preman kota Medan. Begitu mengayom juga rendah hati. Baru kenal saja kami sudah merasa seperti saudara.



Ia memperlihatkan foto-foto dengan Joshua dari HP Nokianya. Ia dengar Joshua sudah terkenal dan sukses, sayang sudah lama tidak kontak, padahal sebelumnya mereka dekat sekali. Ia memberikan secarik kertas memo dari sebuah hotel di Medan, berisi alamat email dan skype yang ditulis tangan  Joshua Oppenheimer, jika kami menyurati ia menitipkan pesan agar Joshua menghubunginya lagi seperti dulu. Entah kenapa saya tidak bisa menyisipkan foto pertemuan kami tadi malam di tulisan ini. Saya kutip Wikipedia catatan Penghargaan dan Nominasi yang diraih The Act of Killing, saya yakin Bang Herman atau  Pak Anwar Congo tidak tahu benar soal ini

Tidak ada komentar :

Posting Komentar