Buku ini saya tarik dari raknya ketika melihat nama yang tertera disampul yang berwarna biru muda itu. Ahmad Tohari. Belum lama saya dengar tentang Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang tahun lalu sudah difilmkan dengan judul “sang Penari” dan sukses meraih 4 piala citra. Saya menyesali sampai saat ini belum menonton film atau membaca novelnya. Ah, Pematang Siantar memang kurang bersahabat untuk dua hal ini. Tak ada bioskop tak ada gramedia. Maka saya terlonjak girang
ketika menemukan novel berjudul “bekisar merah” ini saat mampir ke gramedia salah satu mall di Medan. Sungguh rasanya seperti menemukan harta terpendam karena jarang sekali melihat novel sastra di toko-toko buku selama saya di Sumatra Utara ini. Novel populer banyak.
Lalu saya habiskan 358 halaman itu setelah sholat subuh di hari Minggu kemarin. Enggan melepaskan mata dari baris demi baris yang membawa imaji melayang, juga bertabur ajaran luhur kemanusiaan yang disampaikan dengan begitu sederhana. Tidak sampai 12 jam saya menamatkannya. Tidak pernah bersengaja untuk membaca cerita yang terkait dengan Jepang atau orang Jepang. Tapi untuk ke sekian kali saya telah memilih satu novel yang bercerita tentang hidup seorang perempuan keturunan (tentara) Jepang. Lasi namanya. Lengkapnya Lasiyah atau Lasi-pang , lasi si anak Jepang, panggilan ejekan teman-teman kecilnya yang curi dengar desas desus tentang asal usul Lasi.
Ditinggal ayahnya saat masih 5 bulan dalam kandungan Lasi tumbuh sebagai gadis jelita, bunga desa buah bibir di mana-mana. Tapi hanya di kagumi dari jauh, tidak ada yang sudi memetik karena keturunannya yang dianggap tak genah. Hingga di usia yang bagi orang desa sudah tidak muda akhirnya ia dijodohkan dengan Darsa, keponakan ayah tirinya. Mereka hidup tentram dalam ketiadaan harta di desa Karangsoga yang warganya menggantungkan hidup dari menyadap nira dari pohon-pohon kelapa mereka. Air nira itu mereka olah menjadi gula merah yang dijual ke para tengkulak yang akan menentukan apa yang akan mereka makan hari ke hari . Namun tanpa di duga hidup Lasi jungkir balik oleh kesontoloyoan Darsa yang nyeleweng tak sengaja. Dalam kemarahan yang luar biasa Lasi kabur dari Karangsoga, lari untuk membuang malu dan kecewa.
Ditinggal ayahnya saat masih 5 bulan dalam kandungan Lasi tumbuh sebagai gadis jelita, bunga desa buah bibir di mana-mana. Tapi hanya di kagumi dari jauh, tidak ada yang sudi memetik karena keturunannya yang dianggap tak genah. Hingga di usia yang bagi orang desa sudah tidak muda akhirnya ia dijodohkan dengan Darsa, keponakan ayah tirinya. Mereka hidup tentram dalam ketiadaan harta di desa Karangsoga yang warganya menggantungkan hidup dari menyadap nira dari pohon-pohon kelapa mereka. Air nira itu mereka olah menjadi gula merah yang dijual ke para tengkulak yang akan menentukan apa yang akan mereka makan hari ke hari . Namun tanpa di duga hidup Lasi jungkir balik oleh kesontoloyoan Darsa yang nyeleweng tak sengaja. Dalam kemarahan yang luar biasa Lasi kabur dari Karangsoga, lari untuk membuang malu dan kecewa.
Ternyata di Jakarta kecantikan Lasi yang sebelumnya tertutup oleh lumpur sawah, keringat dan asap kayu bakar tungku tengguli nira bersinar memukau para petinggi negara. Ia masuk kelas perempuan bernilai tinggi sebagai pajangan pendongkrak gengsi. Lasi merasakan nikmat duniawi yang tidak pernah mimpi untuk dikecapnya, mengingat pahit kehidupan yang berkawan dengannya sejak hadir di dunia.
Lasi menikah dengan Handarbeni, direktur perusahaan minyak yang lebih pantas jadi ayahnya. Ia dimanjakan layaknya seekor bekisar cantik piaraan. Tapi sebagai perempuan desa bersahaja batinnya tidak juga terbiasa dengan hidup barunya. Pernikahan itu ia rasakan hanya seperti main kawin-kawinan sewaktu ia bocah. Tidak ada peran dan makna pada keberadaannya seperti saat ia hanya jadi istri seorang penyadap nira miskin yang bahkan tidak tahu pasti apakah besok punya beras atau tidak
Meski dibekali rekening berisi ratusan juta , Ia tidak merasakan kepuasan batin seperti saat menerima lembar ribuan yang tak seberapa dari menjual gula kelapa jerih payahnya dengan Darsa. Dalam kesenangan berbelanja di pertokoan mewah Singapura ia malah teringat kepiting batu di sungai kecil yang sering di lalui waktu di desa. Hampa. Puncaknya adalah ketika Handarbeni yang takut posisinya terusik lalu tanpa ragu menyerahkan Lasi pada Bambung, bandot tua yang berkuasa di lingkar atas pejabat negara.
Lasi yang sudah lelah melarikan diri ke Karangsoga lalu bertemu dengan Kanjat , insinyur, anak juragan gula merah, cinta masa kecil yang menunggunya sejak lama. Tapi Bambung yang marah karena penolakan Lasi mengerahkan segenap kuasanya untuk membawa Lasi kembali. Lasi yang hanya tamat SD tanpa mengerti masuk dalam lingkar kebusukan lobi tingkat atas. Kanjat frustrasi karena tidak punya daya membebaskan istri yang tengah mengandung anaknya dari kerangkeng mewah Bambung.
Saya membaca perlahan bagian yang mendeskripsikan alam desa Karangsoga. Gemercik air, capung beterbangan, desau angin diantara pelepah nyiur, atau tentang jembatan dari pohon pinang yang melintasi sungai kecil. Menikmati imaji yang dituliskan begitu detil hingga kita akan merasa ada dalam cerita atau malah rindu pulang kampung. Tidak percaya? Baca saja!
Dolok Merangir, 17 Januari 2012
Tidak ada komentar :
Posting Komentar