The Way We Were Film Yang Sulit Saya Lupakan

Jika sedang tidak disibukkan dengan cucian dan setrikaan maka hari minggu biasanya saya lewati
 dengan ber-honda-honda ke kota pematang siantar yang dengan kecepatan 50 km/jam dapat dicapai dalam waktu 25 menit dari kebun, tempat saya mencari rezeki.
Saya senang melamun di sepanjang perjalanan, sesekali bernyanyi kecil menikmati sepoi angin diantara jalan raya lintas sumatera yang membelah hutan karet milik Jepang ini.

Hampir selalu tempat yang wajib dikunjungi adalah
supermarket Suzuya, sebagai kota yang tidak terlalu besar tempat ini cukup nyaman untuk jadi tempat belanja kebutuhan sehari-hari. Setelahnya saya akan menyambangi “Venus” tempat penjualan DVD dan VCD, berusaha menemukan film-film atau MP3 “bajakan” dengan kualitas yang sangat baik. Favorit saya adalah film drama semua jenis, ya komedi, keluarga, percintaan.

Dan hari Minggu lalu setelah berkeliling kebun binatang (katanya kebun binatang  kami lebih bagus daripada yang di kota Medan), bersama 2 sahabat yang sedang sowan saya mampir ke Venus. Membeli 3 dvd film yang terlihat menarik: No String Attached, The Way We Were dan South Solitary. Natalie Portman dan Ashton Kutcher di No Strings Attached bikin saya deg-degan setengah mati, adegan percintaan melulu, hmmm…tidak sehat untuk mereka yang masih lajang seperti saya hahaha…

Saya memilih The Way We Were karena dibintangi oleh Barbra Streisand dan Robert Redford.  Sebagai orang Indonesia kampung dan generasi 80-an saya memang tidak familiar dengan dua bintang top senior Amerika ini, dan karenanya saya lalu penasaran melihat kehebatan mereka. Film yang ternyata rilis tahun 1973 ini diawali gambaran suasana sebuah stasiun radio pada masa PD II tempat Katie Morosky tokoh utama bekerja.

Katie adalah gadis yahudi berpaham marxis. Ia seorang pekerja keras yang sangat melek politik, vokal dan temperamental. Sementara Hubbel Gardiner merupakan pria tampan dengan berbagai bakat yang cenderung tidak peduli politik dan memilih menikmati hidup bersama teman-temannya.Katie tertarik pada Hubbel sejak mereka masih di kampus, belajar di kelas yang sama. Katie yang presiden organisasi mahasiswa komunis sebenarnya juga dikagumi oleh Hubbel. Saat Katie sibuk menyebar selebaran anti perang,   Hubbel asik marathon di sepanjang taman kampus. Pada satu waktu Hubbel yang supel memperlihatkan kepeduliannya pada Katie yang selalu serius itu.

Namun perang dunia II membawa Hubbel menjadi perwira angkatan laut, sementara Katie bekerja di radio, mereka tidak bertemu lagi hingga pada suatu acara.Mereka akhirnya menjalin hubungan namun sikap keras Katie terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan idealismenya membuat semua jadi begitu sulit bagi Hubbel. Mereka sering bertengkar karena Katie yang tidak dapat menerima candaan teman-teman Hubbel soal politik atau Roosevelt. Namun kesungguhan Katie memperlihatkan betapa ia mencintai Hubbel, percaya penuh, dan support atas kemampuan menulisnya meluluhkan Hubbel. Perang berakhir, mereka menikah dan ternyata menjalani masa-masa yang membahagiakan. Hidup cukup mapan di sebuah villa pinggir pantai.

Hingga gonjang-ganjing politik  memancing Katie kembali pada aktifitasnya sewaktu di kampus. Ia berteriak membela kaum komunis yang menurutnya berhak bersuara atas negerinya. Dan Hubbel menerima dampaknya. Ia  yang memilih menjadi scriptwriter hollywood ketimbang tekun menulis buku mendapat penolakan dari berbagai pihak dikarenakan istrinya yang seorang aktifis komunis. Keadaan menjadi semakin rumit ketika Katie yang sedang hamil mengetahui bahwa dibelakangnya Hubbel pernah berhubungan kembali dengan Carol Ann mantan kekasihnya. Ia merasa tidak mengerti mengapa Hubbel melakukan itu sementara mereka telah menjalani hidup yang sangat manis, dan seharusnya semua yang ia berikan sangat cukup untuk Hubbel. Mereka berpisah setelah Katie melahirkan seorang putri.

Cerita ini diakhiri dengan pertemuan keduanya di depan sebuah hotel, Hubbel adalah seorang scriptwriter yang sukses dan sudah menikah lagi. Katie yang juga sudah menikah lagi tetap menjadi dirinya,  saat itu sedang menyebarkan brosur anti perang. Saya sungguh terkesan dengan adegan pertemuan mereka ini. Seperti ada sesal yang tidak terucapkan.

Saya susah payah memahami idiom-idiom American-English sepanjang cerita karena remote DVD yang berulah dan tidak bisa manual mengganti teks ke Bahasa Indonesia. Tapi tidak mengurangi kesan mendalam atas film yang mendapat banyak penghargaan ini. Sebaiknya di tonton sajalah, saya akan melanjutkan dengan South solitary malam ini mudah-mudahan tidak kalah bagus.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar