Boulevard de Clichy Remy Sylado dalam Catatan Seorang Pembaca Amatir

Saya mengingat Remy Sylado sebagai Ayah tokoh Siti Nurbaya  (diperankan Novia Kolopaking), dalam sinetron berjudul Siti Nurbaya yang tayang di TVRI pada masa saya masih di sekolah dasar dulu. Lewat karakternya itu saya kemudian beranggapan ia mungkin adalah seorang Minang (selain nama yang sedikit keminang-minangan dengan Sylado-nya itu).

Setelah itu saya takjub ketika melihat sosok kesehariannya yang nyentrik dengan rambut berwarna dalam berita-berita tentang festival film Indonesia atau soal seni yang tidak pasaran lainnya.Dan secara sederhana alam bawah sadar saya, dengan informasi yang terbatas itu, berasumsi bahwa ia merupakan satu dari beberapa orang dengan kualitas A+ dalam dunianya.

Hingga pada suatu malam di akhir Februari lalu, saat tengah berada di Padang untuk menyela rutinitas laboratorium- Hevea brasiliensis, saya tak sengaja menemukan novel Boulevard de Clichy. Berada dalam deretan buku diskon yang digelar di halaman Gramedia yang nyaris roboh oleh gempa. Sampul berwarna kuning dengan ilustrasi perempuan menari kabaret, ditempeli harga Rp.20.000. Murah, karena karya Remy Sylado. Selain lumayan tebal dibandingkan buku lain di rak yang sama.

Maka saya tidak merasa perlu membaca synopsis yang ada di bagian belakang. Bersama The Namasake Jhumpa Lahiri dan beberapa DVD Disney’s untuk anak sahabat-sahabat dengan  saya segera membayar ke kasir yang sudah menyorakkan tokonya akan tutup.

Acara raun tanpa arah menyebabkan buku-buku itu terabaikan hingga urusan dengan sampel tanaman di laboratorium kembali di mulai. Hingga pada libur Nyepi kemaren saya pasang niat untuk menuntaskan boulevard de Clichy.

Berkisah tentang ironi hidup seorang Nunuk, gadis kebanyakan yang bercita-cita jadi artis, ber-ibu Indo Belanda dan ayah sopir metromini. Kecantikan sempurna yang diperoleh setelah operasi pada bibirnya yang tadinya sumbing malah membawa petaka hidup tidak diduga. Berawal dari kisah asmaranya dengan Budiman, anak Waluyojati mantan preman yang jadi ketua DPRD Jakarta. Ia hamil, sementara selisih kelas sosial dan dendam masa lalu orang tua membuyarkan mimpi indah, dan memberi rentetan masalah yang memaksanya lahir sebagai “Meteore de Java” bintang pertunjukan seni telanjang di pusat kota Paris.

Sementara Budiman yang di “opo-opo” ibunya hingga lupa selupa-lupanya pada Nunuk, dengan niat berbeda juga ternyata ada di Paris. Bertahun-tahun mereka minum dan nongkrong di restoran yang sama di seputar boulevard de Clichy. Namun tidak dipertemukan, sampai suatu ketika mereka bertemu tapi malah membuat Nunuk bergegas kembali ke Indonesia dengan kondisi yang lebih buruk dari saat ia pergi.

Macam kebobrokan keseharian yang telah jenuh kita lihat di tivi tampil dengan cara asyik di sini. Semisal kebiasaan kong kalikong pejabat dan pengusaha (diwakili tokoh Bing Wijaya), soal polisi dan penjara, soal studi banding ke luar negri dan interupsi rapat anggota dewan. Bahkan cerita masa lalu tentang orang LEKRA yang diusir dari tanah air di era 1965. Ada sejarah juga kekinian yang komplit bertalian seolah tidak sengaja namun jelas berdasar pada pemahaman yang tidaklah setengah.

Tapi satu hal yang baru dan mengesankan buat saya adalah ada begitu banyak kosa kata Indonesia dan peribahasa yang tidak biasa di telinga. Ambil contoh dari 5 halaman bab pertama ada kata yuwana, arkian, termanda, rumangsa,dst.

Dan bagai melukah dalam panai. Wow, baris demi baris jadi begitu berharga, bikin penasaran. Menikmati pertemuan dengan kata-kata aneh namun terdengar indah dan sesuai, entah arti sebenarnya apa. Saya membaca bahwa Remy Sylado betah membongkar arsip tulisan lama di perpustakaan nasional atau berburu buku tua untuk mencari kata yang sangat Indonesia. Kata dan peribahasa ini menjembatani latar Paris masa kini yang metropolis dengan Indonesia yang ruwet dan tidak jelas.

Mengenalkan seni bebas nilai yang lazim bagi sekelompok orang tapi mungkin tidak terbayangkan oleh saya yang ngetemnya cuma di bawah pohon karet nun di pojok Dolok Merangir.Kadang saya terkaget karena bahasa sumpah serapah yang sangat pasar ditampilkan tiba-tiba sebagai pelepas emosi tiap tokoh. Namun pada sisi lain ada kutipan syair-syair berbahasa Prancis yang menunjukkan kayanya khazanah bahasa sang penulis. Pada bagian-bagian akhir saya terbahak,

Satu hal yang jarang diketahui orang, dan jarang pula disebut-sebut mengenai bisnis Bing Wijaya di Hongkong ini, adalah membawa perempuan-perempuan muda dari cina, melalui Kowloon, untuk dijadikan pelacur-pelacur tingkat tinggi di Jakarta. Di Jakarta pelacur-pelacur itu diberi nama baru, yaitu nama-nama santa atau nama-nama orang kudus, antara lain Agnes, Monica, atau Cornelia, Agatha... dan seterusnya.

Ada catatan kaki untuk arti nama-nama tersebut sehingga yang punya nama saya kira tidak akan berniat mengajukan somasi haha…ha

Kemarin dari Wikipedia saya tahu Remy Sylado bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong lahir di Makassar Sulawesi Selatan. Ia adalah penulis yang pemain film dan teater, juga seniman musik dan perupa. Ia pernah mendapat anugerah sastra khatulistiwa 2002. Saya ingin membaca Kembang Jepun, Ca-Bau-Kan (sudah difilmkan 1999), Kerudung Merah Kirmizi dan lain-lain yang pasti sama menariknya dengan Boulevard de Clichy agonia cinta monyet ini.

Dolok Merangir, 20 Maret 2010

2 komentar :

  1. Betuuuul....baca lagi sambil megang stabilo...tandain kosa kata yg belum pernah kita dengar....pepatah dan kiasan yg baru sama sekali....remy emang "gila"!!!! :D

    BalasHapus